Landasan filosofis dan teosofis PMII sebenarnya tergali dalam rumusan NDP
dan turunannya kebawah. Artinya bahwa NDP dibangun atas dasar dua sublimasi
besar yaitu ke-Islaman dan ke-Indonesiaan. Sublimasi ke-Islaman berpijak dari
kerangka paradikmatik bahwa Islam memiliki kerangka besar yang universal, transendental, trans-historis dan bahkan trans-personal. Universalisme atau
variasi-variasi identitas Islam lainnya yang dimaksud bermuara pada satu
gagasan besar, bagaimana membangun masyarakat yang berkeadilan. Namun, harus
disadari bahwa sungguhpun Islam memiliki universalitas atau yang lainnya, ia
juga menampakkan diri sebagai entitas dengan identitas sangat kultural,
antropologis, historis, sosiologis dan bahkan politis.
Dua gambaran tentang Islam yang paradox
atau minimal kontra produktif dan bahkan saling berbinary opposition–menghadapkan believer
pada tingkat minimal untuk melakukan human
exercise bagaimana Islam dalam identitas yang ganda itu mampu disandingkan,
dan bahkan dileburkan menjadi satu identitas besar, “rahmatan lil alamin”.
Dari sini, mengharuskan PMII untuk mengambil inisiatif dengan menempatkan
Islam sebagai salah satu sublimasi identitas kelembagaan. Ini berarti,
PMII menempatkan Islam sebagai landasan teologis untuk dengan tetap
meyakini universalitas, transhistoris dan bahkan transpersonalnya. Lebih dari
itu, Keyakinan teologis tersebut tidak semata-mata ditempatkan sebagai landasan
normatifnya, melainkan disertai upaya bagaimana Islam teologis itu mampu
menunjukkan dirinya dalam dunia riel. Ini berarti, PMII akan selalu menempatkan
Islam sebagai landasan normatif yang akan selalu hadir dalam setiap
gerakan-gerakan sosial dan keagaamaan yang dimilikinya.
Selain itu, PMII sebagai konstruksi besar juga begitu menyadari bahwa ia
tidaklah hadir dalam ruang hampa, kosong, berada diawang-awang dan jauh dari
latar sosial dan bahkan politik. Tetapi, ia justru hadir dan berdiam diri
dalam satu ruang identitas besar, Indonesia dengan berbagai kemajemukan watak
kulturalnya, sosiologis dan hingga antropologisnya.
Oleh karena, identitas diri yang tak terpisahkan dengan identitas besar
Indonesia mengharuskan PMII untuk selalu menempatkan identitas besar itu
menjadi salah satu sublimasi selain ke-Islaman. Penempataan itu berarti
menempatkan PMII sebagai institusi besar yang harus selalu melakukan pembacaan
terhadap lingkungan besarnya, “Indonesia”. Hal ini dalam rangka membangun
aksi-aksi sosial, kemasyarakatan, dan kebangsaan yang selalu relevan,
realistik, dan transformatik.
Dua penjelasan kaitannya dengan landasan sublimatif PMII diatas, dapat
ditarik kedalam satu konstruksi besar bahwa PMII dalam setiap bangunan gerakan
dan institusionalnya tetap menghadirkan identitas teologisnya, identitas Islam.
Tetapi, lebih dari itu, landasan teologis Islam justru dihadirkan bukan hanya
sebatas dalam bentuk pengaminan secara verbal dan normatif, melainkan bagaimana
landasan teologis ini menjadi transformable
dalam setiap gerakan dan aksi-aksi institusionalnya. Dengan begitu, mau tidak
mau PMII harus mempertimbangkan tempat dimana ia lahir, berkembang, dan
melakukan eksistensi diri, tepatnya ruang ke-Indonesiaan. Yang berarti, secara
kelembagaan PMII harus selalu mempertimbangkan gambaran utuh konstruksi besar
Indonesia dalam membangun setiap aksi-aksi kelembagaanya.
Akhirnya, proses yang runut transformasi landasan teologis Islam dan konstruksi besar ke-Indonesia-an sebagai medium pembacaan objektifnya, maka akan muncul citra diri kader atau citra diri institusi yang ulil albab. Citra diri yang tidak hanya semata-mata menampilkan diri secara personal sebagai manusia beriman yang normatif dan verbalis, melainkan juga sebagai believer kreatif dan membumi-kontekstual. Citra diri personal ini secara langsung akan mewujudkan PMII secara kelembagaan sebagai entitas besar yang juga ulul albab.
Akhirnya, proses yang runut transformasi landasan teologis Islam dan konstruksi besar ke-Indonesia-an sebagai medium pembacaan objektifnya, maka akan muncul citra diri kader atau citra diri institusi yang ulil albab. Citra diri yang tidak hanya semata-mata menampilkan diri secara personal sebagai manusia beriman yang normatif dan verbalis, melainkan juga sebagai believer kreatif dan membumi-kontekstual. Citra diri personal ini secara langsung akan mewujudkan PMII secara kelembagaan sebagai entitas besar yang juga ulul albab.
Editor
|
:
|
Dika Pramono
|
Sumber
|
:
|
http://pmiiliga.wordpress.com/sekilas-tentang-pmii/landasan-teologis-filosofis-pmii/
|
Tags
|
:
|
Hymne, lagu, pmii,
pergerakan mahasiswa islam indonesia
|
0 comments:
Post a Comment