Monday, April 20, 2015

4:43 PM
Cikal Bakal dan Proses Kelahiran PMII


Berdirinya organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dilatarbelakangi oleh kemauan keras para mahasiswa Nahdliyin untuk membentuk wadah organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlusunnah Wal-jamaah. Hal ini tidak terlepas dari eksistensi IPNU-IPPNU, karena secara historisitas PMII merupakan mata rantai dari departemen perguruan tinggi IPNU yang dibentuk pada muktamar III IPNU di Cirebon pada tanggal 27-31 Desember 1958. Wacana mendirikan wadah yang dapat mengakomodir kebutuhan mahasiswa Nahdliyin sudah ada ketika muktamar II IPNU di Pekalongan tetapi karena keberadaan IPNU dirasa masih sangat muda yang berdiri pada tahun 1954, wacana itu tak terlalu ditanggapi dengan serius.

Namun seiring dengan perkembangan dan kebutuhan mahasiswa untuk mengaktualisasikan diri, mereka terus berjuang untuk mewujudkannya. Puncak perjuangan untuk mendirikan organisasi mahasiswa Nahdliyin ini adalah ketika IPNU mengadakan konferensi besar di Kaliurang, Yogyakarta, pada tanggal 14-17 Maret 1960. sehingga, akhirnya dibentuk tim khusus yang terdiri dari 13 orang untuk mengadakan musyawarah mahasiswa NU di Surabaya pada tanggal 14-16 April 1960, satu bulan kemudian setelah keputusan di Kaliurang.

Adapun ke-13 orang personal tersebut (pendiri organisasi PMII) adalah:
  1. Cholid Mawardi (Jakarta)
  2. Sa’id Budairy (Jakarta)
  3. M. Shobic Ubaid (Jakarta)
  4. M. Makmun Syukri BA (Bandung)
  5. Hilman (Bandung)
  6. H. Ismail Makky (Yogyakarta)
  7. Munsif Nahrawi (Yogyakarta)
  8. Nuril Huda Suady (Surakarta)
  9. Laili Mansur (Surakarta)
  10. Abd. Wahab Jailani (Semarang)
  11. Hisbullah Huda (Surabaya)
  12. M. Cholid Narbuko (Malang)
  13. Ahmad Husain (Makasar)

Dalam musyawarah di kota pahlawan ini banyak tawaran nama yang dilontarkan untuk nama organisasi ini, yakni IMANU (Ikatan Mahasiswa Nahdlotul Ulama) usulan delegasi dari Jakarta, Persatuan Mahasiswa Sunni dari Yogyakarta, dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dari Bandung dan Surabaya. Dari ketiga usulan tersebut, PMII-lah yang disetujui oleh forum sebagai nama organisasi, tepat pada tanggal, 17 April 1960 (21 Syawal 1379 H) yang kemudian ditetapkan sebagai hari kelahiran PMII. Semenjak kelahirannya, PMII secara struktural masih merupakan underbow NU. Karena kondisi sosial politik pada waktu itu, patronase gerakan mahasiswa masih menjadi bagian dari gerakan politik, sehingga kehadiran PMII nampaknya lebih dimaksudkan sebagai alat untuk memperkuat partai NU pada waktu itu.


Mengenai makna PMII sendiri mulai dari kata“PERGERAKAN”. Makna kata tersebut bagi PMII melambangkan dinamika dari hamba (makhluk) yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya memberikan rahmat bagi alam sekitarnya. Adalah, bahwa mahasiswa merupakan insan yang sadar untuk membina dan mengembangkan potensi ke-Tuhanan dan kemanusiaan, agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada di dalam kualitas tinggi yang mempunyai identitas dan eksistensi diri sebagai Kholifah Fil Ardh. Dalam konteks individual, komunitas, maupun organisasi, kiprah PMII harus senantiasa mencerminkan pergerakannya menuju kondisi yang lebih baik sebagai perwujudan tanggung jawab memberikan rahmat pada lingkungannya. 

Term “MAHASISWA” yang terkandung dalam PMII menunjuk pada golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai kebebasan dalam berpikir, bersikap, dan bertindak kritis terhadap kemapanan struktur yang menindas. Di samping itu, mahasiswa ala PMII adalah sebagai insan religius, insan akademik, insan sosial dan insan mandiri.

Kata “ISLAM” adalah Islam sebagai agama pembebas atas ketimpangan sistem yang ada terhadap fenomena realitas sosial dengan paradigma Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang melihat ajaran agama Islam dengan konsep pendekatan yang proporsional antara Iman, Islam dan Ihsan. Hal ini tercermin dalam pola pikir dan perilaku yang selektif, akomodatif dan integratif.

Sedangkan makna dari kata “INDONESIA” adalah masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang mempunyai falsafah, ideologi bangsa (Pancasila) dan UUD ‘45 dengan kesadaran akan keutuhan bangsa serta mempunyai kesadaran berwawasan nusantara.

Reformulasi dan Reorientasi Gerakan PMII

Pada awal gerakannya, PMII merupakan gerakan underbow NU baik secara struktural maupun fungsionarisnya, karena pada waktu itu situasi politik masih panas. Organisasi-organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengan kekuatan partai politik untuk sepenuhnya menyokong dan mendukung kemenangan sebuah partai. Oleh karena itu, gerakan PMII masih cenderung berbau politik praksis. Hal terjadi hingga tahun 1972. Keterlibatan PMII dalam dunia politik praksis yang terlalu jauh dalam pemilu 1971 berakibat fatal dan terjadi kemunduran dalam segala aspek gerakannya. Beberapa cabang PMII di daerah pun mendapat imbas buruknya. Kondisi ini membawa pada penyadaran untuk mengkaji ulang orientasi gerakan selama ini, khususnya keterlibatan dalam dunia politik praksis.

Setelah melalui perbincangan yang mendalam, maka pada musyawarah besar tanggal 14-16 juli 1972, PMII mencetuskan Deklarasi Independen di Munarjati, Lawang, Malang Jawa Timur. Deklarasi ini kemudian dikenal Deklarasi MUNARJATI. Sejak saat itu, PMII secara formal-struktural terpisah dari NU dan membuka akses sebesar-besarnya bagi PMII sebagai organisasi independen tanpa harus berpihak kepada Parpol apapun. Independensi gerakan ini terus dipertahankan dan kemudian dipertegas  dalam“Penegasan Cibogo” pada tanggal, 8 Oktober 1989. Bentuk independensi merupakan respon terhadap pembangunan dan modernitas bangsa, dengan menjunjung tinggi nilai etik dan moral serta idealisme yang dijiwai oleh ajaran Islam, yakni Aswaja. Reformulasi gerakan PMII kemudian dilakukan pada kongres X PMII pada tanggal, 27 oktober 1991, di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta. Pada kongres tersebut, keinginan untuk mempertegas kembali hubungan PMII dengan NU melahirkan pernyataan “Deklarasi Interdependensi PMII NU”.

Penegasan hubungan tersebut didasarkan pada pemikiran:
  1. Adanya ikatan historisitas yang sangat erat mempertautkan PMII dan NU. Keorganisasian PMII yang independen hendaknya tidak dipahami secara sempit sebagai upaya untuk mengurangi atau menghapus arti ikatan historisitas tersebut.
  2. Adanya kesamaan paham keagamaan dan kebangsaan. Bagi PMII dan NU, keutuhan komitmen ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an merupakan perwujudan beragama dan berbangsa bagi setiap muslim Indonesia.
Menata Gerakan PMII
Perubahan-perubahan dalam sistem politik nasional pada akhirnya membawa dampak pada bentuk dinamika ormas-ormas, dan organ mahasiswa termasuk PMII. Sikap kritis dibutuhkan untuk mendorong para aktivis PMII secara dinamis adalah sikap yang mampu merumuskan visi, pandangan dan cita-cita mahasiswa sebagai agent of sosial change. Pada era 1980-an PMII melakukan advokasi terhadap masyarakat serta menemukan kesadaran baru dalam menentukan pilihan  dan corak gerakan. 

Ada dua momentum yang ikut mewarnai pergulatan PMII di sektor kebangsaan.
  1. Penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal
  2. Kembalinya NU ke Khittah 1926, pada tahun 1984, ketika itu PMII mampu memposisikan perannya yang cukup strategis, karena:
a.  PMII memberikan prioritas terhadap pengembangan intelektualitas
b. PMII menghindari politik praksis dan bergerak di wilayah pemberdayaan civil society
c. PMII mengembangkan sikap dan paradigma kritis terhadap negara

Pada periode tahun 1985-an PMII juga melakukan reorientasi dan reposissi gerakan yang akhirnya menghasilkan rumusan Nilai Dasar Pergerakan (NDP). Sepanjang tahun 1990-an PMII telah melakukan kegiatan-kegiatan diskursif terkait dengan isu-isu penting, seperti Islam transformatif, demokrasi dan pluralisme, civil society, masyarakat komunikatif, teori kritik dan post modernisme.


Seiring naiknya Gus Dur menjadi presiden keempat di Indonesia, secara serta merta aktivis PMII mengalami kebingungan, apakah gerakan civil society harus berakhir ketika Gus Dur sebagai presiden, yang selama ini menjadi tokoh dan simpul perjuangan civil society naik ke tampuk kekuasaan. Dan ketika Gus Dur di jatuhkan dari kursi presiden, paradigma yang selama ini menjadi arah gerak PMII telah patah. Paradigma ini kemudian digantikan dengan Paradigma Kritis Transformatif. 

Bagaimana Kita sebagai Kader PMII harus Bersikap?
Adalah suatu keniscayaan dan tanggung jawab besar kita, sebagai generasi penerus bangsa umumnya dan kader PMII khususnya untuk terus berpikir kritis terhadap setiap kebijakan negara yang kadang sama sekali tidak memihak pada rakyat kecil dan cenderung menindas. Begitupun secara mikro kebijakan yang ada di kampus kita, kampus putih, kampus rakyat, kampus perlawanan, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Yang kedua, kita sebagai kader pergerakan harus mampu mengawal perubahan ke arah yang lebih baik serta responsive terhadap realitas sosial yang ada.Landasan filosofis PMII adalah Nilai Dasar Pergerakan (NDP) yang berisi tentang Hablun Minallah (hubungan dengan Allah), Hablun min Naas (hubungan dengan manusia), Hablun minal Alam (hubungan dengan alam). 

Landasan berpikir PMII adalah ASWAJA (Ahlussunnah wal Jama’ah) yang di dalamnya ada tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan/proporsional), tawassutyh (moderat), taaddul (keadilan) yang dijadikan sebagai manhajul fikr (metodologi berfikir) dan sebagi instrumen perubahan. Landasan paradigmatiknya adalah paradigma kritis transformatif yang dijadikan perangkat analisa perubahan yang mencita-citakan perubahan pada semua bidang. Ketiga landasan itulah yang dijadikan acuan yang harus dimiliki oleh setiap kader PMII.Visi dan misi besar PMII harus tetap kita kawal yang nantinya menuju pada terbebasnya massa rakyat pekerja dan terciptanya tatanan masyarakat yang adil, makmur sepenuhnya. Kutunggu kalian di garis PERLAWANAN!!!!!!!.


Editor
:
Dika Pramono
Sumber
:
https://pmiity08.wordpress.com/2008/05/20/geneologi-dan-keorganisasian/
Tags
:
Sejarah, Cikal Bakal, Tunas, Awal, Asal, Mula, Proses, PMII, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia


0 comments:

Post a Comment