BANJARNEGARA, KOMPAS.com - Duduk bersila dengan wajah tertekuk. Matanya memerah
diselingi dengan rongrongan tangisan bayi. Para bocah kecil bermain sesua hati.
Sesekali, para orangtua mereka menyela mainan para bocah itu.
Potret itulah yang tergambar dari sebagian aktivitas kehidupan para korban bencana longsor di Banjarnegara, Jawa Tengah, di tempat pengungsian. Mereka tidak diperkenankan kembali ke pemukiman mereka. Ya, alasan keamanan jadi pertimbangannya.
Para pengungsi mempunyai cerita tersendiri ihwal keberadaan mereka saat ini. Ada orang yang mengambil hikmah atas kejadian bencana hebat tersebut, ada yang terbiasa saja. Namun, di balik semuanya itu mereka berharap agar bisa segera kembali ke rumahnya masing-masing.
Pramono (47), salah satu pengungsi bercerita ihwal itu. Saat hendak diungsikan, dia mengaku hanya membawa badan saja. Dia tak sempat mengambil pakaian, begitu juga dengan uang untuk bertahan hidup di pengungsian. "Saya bawa badan ini, tidak bawa apa-apa. Uang juga tidak bawa. Ternak juga masih di rumah," kata Pramono, beberapa saat lalu di lokasi pengungsian.
Pramono tidak sendiri. Para pengungsi lain mengalami nasib serupa. Mereka meninggalkan semua yang selama ini dibangun, agar selamat dulu. Rezeki bisa dicari dengan cara lain, kata mereka.
Di tenda pengungsian, mereka dicukupkan untuk proses kehidupan sehari-hari. Makan, minum, selimut, family kit dan sejumlah peralatan lain disiapkan. Pemerintah tentu tak ingin para pengungsi telantar dan menjadi perbincangan yang negatif.
Salah satu pengungsi lain, Marni mengiyakan apa yang disampaikan Pramono. Dia hanya pasrah menghadapi keadaan. Marni tak ingin larut dengan kondisi yang menimpa tempat tinggalnya. "Ya mau ngoten niku mas, saya sedih. Tapi sekarang harus kuat," timpal warga dusun Pekik Desa Sampang, Kecamatan Karangkbar ini.
Kesabaran, kepasrahan untuk menjalani hidup patut diapresiasi. Menteri Sosial Khofifah Indar Parawangsa pun tak kuasa memperhatikan aspek teknis terkait kebutuhan para pengungsi. Kebutuhan terkait logistik sebisa mungkin dipenuhi, kata dia.
Potret itulah yang tergambar dari sebagian aktivitas kehidupan para korban bencana longsor di Banjarnegara, Jawa Tengah, di tempat pengungsian. Mereka tidak diperkenankan kembali ke pemukiman mereka. Ya, alasan keamanan jadi pertimbangannya.
Para pengungsi mempunyai cerita tersendiri ihwal keberadaan mereka saat ini. Ada orang yang mengambil hikmah atas kejadian bencana hebat tersebut, ada yang terbiasa saja. Namun, di balik semuanya itu mereka berharap agar bisa segera kembali ke rumahnya masing-masing.
Pramono (47), salah satu pengungsi bercerita ihwal itu. Saat hendak diungsikan, dia mengaku hanya membawa badan saja. Dia tak sempat mengambil pakaian, begitu juga dengan uang untuk bertahan hidup di pengungsian. "Saya bawa badan ini, tidak bawa apa-apa. Uang juga tidak bawa. Ternak juga masih di rumah," kata Pramono, beberapa saat lalu di lokasi pengungsian.
Pramono tidak sendiri. Para pengungsi lain mengalami nasib serupa. Mereka meninggalkan semua yang selama ini dibangun, agar selamat dulu. Rezeki bisa dicari dengan cara lain, kata mereka.
Di tenda pengungsian, mereka dicukupkan untuk proses kehidupan sehari-hari. Makan, minum, selimut, family kit dan sejumlah peralatan lain disiapkan. Pemerintah tentu tak ingin para pengungsi telantar dan menjadi perbincangan yang negatif.
Salah satu pengungsi lain, Marni mengiyakan apa yang disampaikan Pramono. Dia hanya pasrah menghadapi keadaan. Marni tak ingin larut dengan kondisi yang menimpa tempat tinggalnya. "Ya mau ngoten niku mas, saya sedih. Tapi sekarang harus kuat," timpal warga dusun Pekik Desa Sampang, Kecamatan Karangkbar ini.
Kesabaran, kepasrahan untuk menjalani hidup patut diapresiasi. Menteri Sosial Khofifah Indar Parawangsa pun tak kuasa memperhatikan aspek teknis terkait kebutuhan para pengungsi. Kebutuhan terkait logistik sebisa mungkin dipenuhi, kata dia.
Misal kita masih mendapat laporan belum menerima selimut, belum terima family kit. Saya akan koordinasikan agar semua dapat ter-update. Banyaknya penambahan jumlah pengungsi, PMII yang akan membantu me-manage itu," ujar Khofifah, Minggu kemarin.
Berdasarkan data sementara, jumlah pengungsi hampir mencapai 1.700 warga. Para pengungsi ditempatkan di 11 titik pengungsian. 11 titik itu antara lain Kantor Desa Karangkobar, Balai Perhutani, Balai Desa, Rumah warga sekitar, rumah penduduk Karangkobar, Pos TPQ, Balai Desa Leksana, Madrasah, Rumah Adi Batako, SMA dan rumah Ibu Siti Purwodadi.
Editor
|
:
|
Dika Pramono
|
Sumber
|
:
|
http://regional.kompas.com/read/2014/12/15/08552711/.Kesabaran.di.Tengah.Tenda.Pengungsian.
|
Tags
|
:
|
Ideologi, pmii, pergerakan
mahasiswa islam indonesia
|
0 comments:
Post a Comment